Minggu, April 28, 2024

Tradisi Mansorandak atau Injak Piring

MANOKWARI, KasuariNews.id Masyarakat suku Biak di Teluk Doreri di Provinsi Papua Barat memiliki tradisi unik dalam  menjaga ikatan persaudaraan dengan seluruh anggota keluarga maupun kerabat dekat mereka.

Setiap salah satu dari keluarga ataupun kerabat yang baru pulang dari tanah rantau  dalam kurun waktu lama, akan dilakukan ritual khusus untuk mensyukuri kembalinya anggota keluarga tersebut. Dalam bahasa orang Biak, ritual penyambutan itu bernama Mansorandak.

Tradisi Mansorandak biasanya diadakan ketika salah satu anggota keluarga kembali pulang dari tanah perantauan. Tradisi ini sendiri merupakan bentuk rasa syukur atas kembalinya sanak saudara dalam keadaan sehat dan selamat dari perantauan dan berkumpul kembali bersama keluarga.

Mansorandak disebut juga dengan tradisi injak piring. Anggota keluarga yang baru pulang dari perantauan dimandikan menggunakan air kembang yang disimpan dalam piring adat besar setelah disambut oleh keluarga. Pemandian ini bertujuan untuk menghilangkan roh-roh jahat yang mungkin menempel pada tubuh perantau dari tempat sebelumnya.

Setelahnya, sang perantau dibawa ke dalam sebuah ruangan khusus bersama dengan seluruh anggota keluarga besarnya. Dalam ruangan tersebut, sang perantau harus mengitari 9 piring adat sebanyak 9 kali. Angka sembilan melambangkan jumlah marga Suku Doreri di Manokwari.

Selanjutnya, sang perantau diharuskan menginjak buaya yang dibuat dari tanah di atas piring. Buaya tersebut disimbolkan sebagai tantangan dan cobaan yang akan menyertai perjalanan hidup sang perantau. Ketika menginjaknya, dipercaya dapat melewati segala tantangan dan cobaan dalam hidup.

Secara filosofis, ritual ini adalah ungkapan suka cita karena salah satu sanak keluarga yang telah lama  pergi, misalnya saja merantau, kini telah pulang dan berkumpul kembali bersama seluruh keluarga besar di kampung halaman tercinta.     Ritual ini,  juga untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, karena keluarga yang baru pulang berada dalam keadaan sehat. Namun, sebagaimana ritual adat pada umumnya, Mansorandak pun menyelipkan dimensi mistik di dalamnya. Sebelum masuk rumah, anggota keluarga yang baru pulang harus melalui serangkaian prosesi, diantaranya mandi kembang berbagai rupa.

sesi mandi kembang yang ditaruh dalam wadah piring adat, diharapkan sang saudara yang baru pulang, akan terbebas dari roh-roh jahat yang mungkin saja ditanam atau dikirim oleh oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya di tempat perantauan. “Mungkin saja di tempat yang dia pergi ada iklim-iklim (gaib) yang bertentangan, kita pakai upacara adat ini untuk usir, supaya tidak bikin anggota keluarga kita susah atau menghalangi jalannya di sini,” ujar sesepuh masyarakat Doreri Manokwari, Elly Rumbekwan saat upacara Mansorandak di salah satu kediaman warga Doreri di Pasir Putih Manokwari

Ritual Mansorandak secara umum terbagi dalam 3 bagian, pertama prosesi penyambutan yang dilakukan di luar rumah. Pada bagian ini, anggota keluarga yang baru tiba, disambut oleh beberapa orang tua, bisa laki-laki maupun perempuan, untuk kemudian diantar ke pintu masuk, dimana telah menunggu seluruh keluarga besar.

Selanjutnya anggota keluarga yang baru tiba dimandikan dengan air kembang yang ditaruh dalam piring adat berukuran besar. Dari situ, dimulai bagian kedua yakni prosesi mengitari piring adat dan injak ‘buaya’. Di sini, orang yang baru datang  digiring masuk ke sebuah ruangan khusus. Dalam ruangan itu  sudah ditempatkan 9 buah piring adat mulai dari ukuran kecil hingga ukuran terbesar.

Pada bagian kepala dari deretan piring itu, terbaring seekor buaya. Namun jangan kaget dulu, buaya yang ada di situ adalah buaya buatan dari tanah. Prosesi dimulai dengan menyiramkan air ke kaki anggota keluarga yang baru datang, sebagai tanda yang bersangkutan telah bebas dari pengaruh-pengaruh gaib.

Setelah itu, dia bersama seluruh anggota keluarga lainnya melakukan prosesi mengitari piring adat sebanyak 9 kali. Angka 9 baik pada jumlah piring adat maupun jumlah putaran yang harus dilalui melambangkan jumlah marga (keret) dalam masyarakat suku Doreri.

“Kami suku Doreri ada 9 keret, yaitu Rumakei, Rumbekwan, Rumadas, Rumbruren, Rumbobiar, Rumaraken, Rumfabe, Syobiar dan Burwos,”terang sesepuh Elli Rumbekwan.

Ritual mengitari piring adat ini, diakhiri dengan acara injak ‘buaya’ oleh sang anggota keluarga yang baru datang. Hewan Buaya sebagai binatang buas yang bertubuh besar dan kuat melambangkan tantangan, penderitaan dan cobaan hidup yang akan menyertai jalan hidup kerabat mereka yang baru datang itu. “Agar dia selamat dan tidak mendapat halangan dalam jalan hidupnya, dia harus injak buaya ini supaya semua tantangan dan halangan itu matidan hilang, “ tutur Elli Rumbekwan lagi.     Bagian ketiga yang merupakan bagian terakhir adalah prosesi makan bersama. Prosesi makan bersama ini pun memiliki ciri khas sendiri karena  makanan yang menjadi hidangan utama, seluruhnya  digantung menggunakan tali di bagian atas rumah.

Makanan yang tersedia pun beragam mulai dari ketupat, daging, ikan hingga pinang digantung secara berjejer di langit-langit ruangan. Setelah mendapat hitungan ketiga dari salah seorang sesepuh, semua orang yang ada di dalam ruangan bebas mengambil makanan yang telah tergantung. Suasana pun jadi penuh canda tawa karena semua orang berebutan mengambil makanan, yang kemudian dimakan bersama-sama.

Elli Rumbekwan mengakui, di jaman modern ini ritual Mansorandak sudah jarang dilakukan meski pada kelompok-kelompok tertentu masih sering dipraktekkan. Dia sendiri bertekad tradisi warisan leluhur itu terus dipertahankan.

“Ini tradisi yang kami sudah lakukan turun temurun, kami harus pertahankan ini dan warisan kepada anak-anak muda kami, “ imbuhnya. Mansorandak adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang sarat akan pesan moral. Karena itu prosesi adat seperti ini memang perlu dipertahankan agar tetap lestari dan tidak hilang tergilas oleh budaya maupun tradisi modern yang justru tidak mencerminkan budaya bangsa sendiri. (dr Pelbagi Sumber)

Suku Biak di Teluk Doreri, Manokwari, Papua Barat melakukan tradisi Injak Piring bertujuan untuk menyambut kerabat mereka yang telah kembali dari perantauan. Dalam tradisi ini, sang perantau akan mandi kembang di atas piring adat, kemudian masuk ke sebuah ruangan bersama keluarga besar dan dia akan mengitari sembilan piring adat sebanyak sembilan kali. Kenapa sembilan? Karena melambangkan sembilan marga suku Doreri di Manukwari.

Setelah itu, sang perantau akan menginjak replika buaya yang jadi lambang cobaan dan tantangan dalam hidup, diakhiri dengan makan bersama. Tradisi ini disebut Mansorandak, sebagai ucapan rasa syukur atas kepulangan anggota keluarga sekaligus untuk membersihkannya dari roh-roh jahat selama di perantauan.

Namun, kini masyarakat Suku Biak melakukan Mansorandak dengan menyiramkan air kepada sang perantau yang telah kembali sebelum memasuki rumah, tidak dengan mengitari sembilan piring.

Tidak hanya momen menyambut kerabat yang pulang dari perantauan, namun saat ini tradisi injak Piring ini juga dilakukan saat menyambut tamu negara pun tamu penting lainnya yang berkunjung ke Manokwari. Para tamu akan melakukan tradisi Injak Piring ini secara simbolis sebagai bentuk rasa syukur masyarakat di sana atas kunjungan mereka.(Dari Pelabagi Sumber)

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

nineteen − sixteen =

- Advertisment -spot_img

Berita Terakhir