Minggu, Mei 19, 2024

Soal Wacana Pemekaran DOB di Tanah Papua, Akademisi Ini Sebut Harus Gunakan ‘Common Sense’

MANOKWARI, Kasuarinews.id – Wancana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) berupa provinsi di Papua dan Papua Barat saat ini ramai diperbincangkan pelbagai kalangan dan menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat sendiri. Akademisi Universitas Negeri Papua Manokwari, DR. Agus Sumule pada Kamis (17/3/2022) saat berbincang dengan Kasuarinews.id lewat sambungan telepon menyampaikan pandangan pribadinya soal hal tersebut.

Agus Sumule mengatakan bahwa pemekaran DOB di tanah Papua (baik Provinsi Papua maupun Papua Barat) harus menggunakan common sense (akal sehat/nalar yang wajar, red) karena pemekaran bukan sesuatu yang luar biasa sampai harus memakan korban jiwa. Wancana itu  harus dibicarakan bersama semua elemen masyarakat secara terbuka dan tegas.

“Saya pribadi sangat menyesalkan kejadian yang terjadi di Yahukimo akibat demo menolak pemekaran 2 hari lalu sampai harus  ada yang meninggal. Itu kan korban sia-sia. Kita semua lihat-lihat saja di internet. Namun harus diingat bahwa setiap nyawa manusia diberikan oleh Tuhan maka manusia punya kewajiban untuk menjaga dan merawat kehidupan ini. Saya tidak mau komentar lebih jauh terkait kejadian itu, biar pihak berwewenang melakukan penyelidikan apa yang terjadi. Yang jelas, saya sangat sedih,” ujar Sumule.

Menurut dia, apa yang terjadi di Yahukimo menggambarkan dengan sangat jelas bahwa kita tidak pernah belajar dari pengalaman 20 tahun lalu. “Pada 20 tahun lalu, kejadian hampir sama terjadi di Timika. Masyarakat demo soal pemekaran provinsi Papua Tengah di Timika dan jatuh korban juga. Tampaknya kita  tidak belajar dari hal seperti itu. Saya sayangkan, sekali lagi kita tidak belajar dari pengalaman buruk itu. Seharusnya kalo mau belajar dari pengalanan itu, dapat dicari bentuk dan cara penyampaian pendapat yang baik sehingga tidak jatuh korban jiwa seperti di Timika 20 tahun lalu. Dan apa yang terjadi 20 tahun lalu kini terjadi lagi. Semua pihak harus belajar dari pengalaman itu, baik pemerintah pusat, elite lokal  dan masyakat sendiri,” tandas Sumule.

Terkait pemekaran DOB berupa provinsi, kata Sumule  beberapa hari lalu dilakukan diskusi di Kantor Ombudsman Papua Barat dengan topik penting dan menarik yaitu DOB dan Pelayanan Publik.

“Saat ini dimana-mana orang bicara soal wacana DOB. DOB itu bisa saja provinsi, kabupaten/ kota. Bahkan berbicara sampai pemekaran distrik dan kampung. Jadi orang ramai-ramai bicara pemekaran dari tingkat atas sampai bawah walaupun sesuai UU, distrik dan kampung bukan daerah otonom. Namun  fenomena  meminta pemekaran itu juga sampai ke kampung-kampung.  Dan hal itu tidak pernah dibahas secara mendalam untuk melihat apakah  ada kaitan dari atas sampai ke bawah. Bagi saya, harus ada penelitian yang sunggu-sungguh soal fenomena permintaan pemekaran itu. Mengapa orang suka sekali meminta pemekaran? Tuntutan soal pemekaran distrik juga sama,” jelas Sumule.

Lanjut Sumule, saat menjadi narasumber dalam diskusi yang dilakukan Ombudsman, ada satu pertanyaan penting, apakah pemekaran DOB berupa provinsi itu membawah kesejahteraan bagi masyarakat atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kata Sumule dapat dilihat dari beberapa hal yaitu pertama soal alokasi pendanaan bagi DOB. “UU No. 2 Tahun 2021 yang diimplementasikan dalam  2 PP yaitu PP 106 dan PP 107. PP 107  berbicara khusus  soal keuangan. Dari PP No 107 itu, sebetulnya kabupaten/kota sudah bisa menghitung berapa uang yang akan didapat dari dana Otsus. Saya bergerak di bidang pendidikan dan tanggungjawab pendidikan lebih banyak di kabupaten/kota. Provinsi menangani dana yang  jauh lebih sedikit jika dibanding dulu karena  dana Otsus itu sudah ditransfer langsung ke kabupaten/kota. Jika ditanya mengapa transfer langsung ke kabupaten/kota, saya juga tidak tahu. Untuk mengetahui alasannya, dapat ditanyakan langsung ke Kementrian Keuangan. Kalo tanya ke saya, apakah saya setuju dana ditransfer langsung ke kabupaten/kota, jelas saya tidak setuju. Karena untuk apa bicara soal Otsus jika pemerintah provinsi diabaikan?. Tapi kenyataannya, hari ini faktanya sudah seperti itu, dimana dana ditransfer langsung ke kabupaten/kota. Dengan gambaran demikian, kalo mau dibuat DOB Provinsi lagi di Papua dan Papua Barat maka  kita sudah bisa menghitung berapa uang yang akan diterima provinsi baru itu nanti. Misalnya,  di Papua Barat kita ambil contoh saja uang Otsus 900 Milyar. Maka jika ada 2 provinsi di Papua Barat dengan penambahan 1 DOB provinsi lagi maka tinggal dibagi 2 saja dana Otsus itu, di PB 450 milyar dan provinsi baru hasil pemekaran dari Papua Barat 450 milyar. Kurang lebih begitu. Kita bisa bertanya, dengan 450 Milyar Provinsi bisa buat apa? Itu sama halnya dengan di Provinsi Papua misalanya terima dana Otsus 1000 milyar.  Kalo ditambah 3 DOB lagi maka tinggal dibagi saja juga. Masing-masing dapat Rp. 250 Milyar. Dengan uang sebesar itu, mau bangun apa di Papua? Kan kita bisa tahu berapa uangnya,” terang Sumule.

Menurut dia, hal itu bisa dihindari jika pemerintah pusat punya kemauan baik untuk membuat aturan yang tegas dan jelas. Misalnya, jika ada provinisi baru, uang Otsusnya ditambah sekian milyar atau trilyun. Bukan uang Otsus yang sudah ada dibagi lagi. Atau, dengan adanya pemekaran DOB provinsi, pemerintah pusat akan menggelontorkan lagi uang sekian rupiah dengan regulasi yang jelas.

“Namun selama ini kan tidak begitu. Pada prakteknya,  selama ini yang dimulai dari tahun 2003 sampai 2008, kan kita sudah lihat dan tahu sumber-sumber penghasilan kekayaan sumber daya alam (DBH) di daerah tidak pernah dibagi rata di seluruh provinsi Papua dan Papua Barat. Misalnya, Dana Bagi Hasil (DBH) dari Freeport berupa pajak daerah dan macam-macam yang merupakan kontribusi dari Freeport hanya dinikmati di Papua. Sama halnya dengan DBH BP Tangguh di Bintuni hanya dinikmati di provinsi Papua Barat. Kalo kita bisa  hitung ulang presentasenya, uang itu hanya tinggal dan dinikmati provinsi yang ada perusahaannya seperti Freeport dan BP Tangguh. Provinsi di luar itu tidak dapat DBH. Dan angka itu bukan main-main. Misalnya, tahun   2019 DBH Migas dari BP Tangguh sebesar 2 trilyun, suatu angka yang sangat besar. Jadi jika kelak, ada pemekaran provinsi baru di Papua atau Papua Barat,  provinsi yang hanya ada perusahaan itu yang dapat DBH, sedangkan provinsi yang tidak ada perusahaan gigit jari. Intinya, kalo mau pemekaran, saran saya pikir baik-baik. Artinya, harus ke Jakarta untuk bicara secara terbuka dengan Pemerintah Pusat. Kita musti berpikir secara jernih dan lurus, apakah semangat memekarkan DOB di Papua itu ada uang atau tidak?,” tanya Sumule

“Contoh di Papua, uangnya akan tinggal di provinsi yang di dalamnya ada Kabupaten Mimika atau di Papua Barat, provinsi yang ada  Babo di dalamnya. Setelah pemekaran DOB, provinsi yang tidak ada perusahaan di dalamnya tidak akan dapat apa-apa. Nah bagi saya, untuk pemekaran DOB di tanah Papua, kita harus menggunakan common sense. Pemekaran itu, bukan sesuatu yang luar  bisa sampai harus ada orang yang meninggal dunia. Wancana itu  harus dibicarakan bersama semua elemen masyarakat secara terbuka dan tegas. Misalnya, soal DBH tadi di atas dan alokasi dana Osus itu. Harus bicara terbuka. Dan secara pribadi sampai saat ini, saya tidak melihat jika pemekaran itu akan menghasilkan  kesejahteraan bagi masyarakat. Saya tidak lihat itu,” ujar Sumule lebih jauh.

Point kedua kata Sumule yaitu ada yang mengatakan pemekaran DOB dilakukan saja karena kita memiliki potensi SDA yang melimpah. “Bagi saya, mari kita lihat praktek hari ini. Jika hari ini, ada yang mengatakan, kita punya potensi SDA maka nanti 20 tahun mendatang baru bisa berjalan. Contohnya, potensi minyak dan gas yang ditemukan Arco pertama kali di Babo tahun 1999. Nanti 20 tahun kemudian baru dilakukan pengapalan. Artinya, kita punya SDM memang tetapi butuh waktu yang lama untuk bisa mendapat DBH atau presentase lainnya,” jelas Sumule.

Untuk menjawab tudingan adanya pemekaran  DOB di tanah Papua untuk membungkam isu-isu politik dan isu lainnya, Sumule mengatakan pemerintah harus terbuka berdiskusi soal itu. Selain itu, kelembagaan di Papua dan Papua Barat seperti Gubernur, DPR, Bupati dan MRP memiliki kewajiban untuk  mempertanyakan hal itu secara terbuka dan tegas kepada pemerintah pusat terkait isu-isu tersebut. “Tadi malam saya nonton di TVRI Papua dan Bupati Lany Jaya Befa Yigibalom  yang merupakan Ketua Asosisi Bupati Pegunungan Tengah Papua berinisiatif menanyakan hal itu kepada pemerintah pusat. Misalnya, soal pembagian DBH karena selama ini tidak dibagi. Atau, soal pengendalian migrasi  ke Papua bagaimana? Karena berdasarkan data BPS migrasi masuk ke Papua itu 5% dan itu paling tinggi di dunia. Itu data BPS, bukan data yang dicomot dari pinggir jalan. Atau, soal kesiapan SDM. Jadi bagi saya, lembaga-lembaga itu termasuk lembaga adat seperti MRP  berada pada posisi untuk menanyakan. Tanyakan saja. Nanti mudah-mudahan ada jawaban dari pemerintah pusat soal isu-isu tadi yang menjadi kekhawatiran masyarakat. Jika jawabannya ternyata, pemekaran DOB itu  kurang tepat dilakukan sekarang, mari semuanya duduk dan bicara baik-baik. Kalo mau jujur, harus diakui, tidak sedikit juga yang menginginkan pemekaran DOB terutama yang berada di lingkaran kekuasaan. Untuk itu, saran saya, semua harus duduk untuk bicara dengan akal sehat,” tandas Sumule. (Omar)

 

 

 

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

two × 4 =

- Advertisment -spot_img

Berita Terakhir