Senin, April 29, 2024

Mengenal Sosok Paulus Supribadi, Tinggalkan Zona Nyaman untuk Jadi Pendidik di Tanah Arfak Selama 48 Tahun

MANOKWARI, Kasuarinews.id– Akhir bulan lalu, tepatnya tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Usai perayaan yang dirayakan dengan pelbagai cara itu, saya berkesempatan bertemu dan bercerita panjang lebar dengan salah  seorang guru yang sudah cukup lama mengabadi di tanah Papua, khususnya tanah Arfak yakni Paulus Supribadi. “Saya menjadi guru selama 48 tahun di tanah Arfak sejak tiba pertama di Manokwari tahun 1972,” ujar Paulus dengan senyum khas di kediamannya Komplek Misi, Brawijaya,  Manokwari.

Nampak, naluri sebagai seorang pendidik masih terlihat jelas saat berbicara. Mantan guru asal Kota Gudeg, Jogyakarta ini mengisahkan bahwa dia tiba di Manokwari tepat tanggal 25 Desember 1972. “Ketika fajar membelah kesunyian Teluk Dorerei, kapal yang saya tumpangi yaitu KM. Tobelo tiba di pelabuhan Manokwari. Bunyi stom kapal pagi itu seakan membela kebisuan pagi di kota Manokwari yang menyambut kami dengan hangat,” kisahnya.

Menurut Paulus, setelah menamatkan pendidikan di IKIP Negeri Jogyakarta tahun 1972, dia bersama kedua rekannya ditugaskan ke Papua yang kala itu bernama Irian Jaya. “Saat saya tamat pendidikan, langsung diperintahkan  mengajar di Irian Jaya. Saya terima perintah itu dengan sukacita dan kegembiraan penuh semangat. Jangan pernah membayangkan bahwa Papua dulu sama dengan saat ini. Semaunya serba sulit dan terbatas. Maka ketika saya terima penugasan itu, keluarga dan kerabat serta teman-teman banyak yang tidak setuju bahkan pesimis apakah saya bisa bertahan. Dan ternyata saya membuktikan bahwa sampai saat ini saya masih tinggal di Papua karena sangat mencintai tanah ini. Karena begitu cinta, saya memutuskan menghabiskan masa tua saya di Papua.  Kami ada 3 orang yang ditugaskan di Papua, saya di Manokwari, seorang di Merauke dan satunya lagi di Jayapura. Jujur saya tugas pada masa-amasa awal begitu ebrat dan penuh tantangan tetapi yang membuat saya mampu bertahan mengabdis ebagai guru selama 48 tahun di tanah Papua terutama di Manokwari karena saya sangat mencintai pekerjaan saya dan melihat tugas itu bukan sebagai profesi untuk mencari materi tetapi sebagai kesempatan dari Tuhan untuk melayani,” tutur Paulus menambahkan saat tiba di Manokwari, dia di jemput  Pastor Hans Hulsoff OSA dan langsung diantar menuju gedung SMP Katolik Lama di Jalan Merdeka, samping Gereja GKI Maranatha, Manokwari  saat ini.

Ia mengisahkan, menjadi seorang guru di tahun 1972 sangat berbeda dengan saat ini. “Dari segala hal memang sangat berbeda mulai dari motivasi menjadi guru. Dulu guru itu dianggap tugas mulia dan terhormat sehingga banyak yang jadi guru tetapi sekarang tidak. Situasi murid tahun 70-an juga berbeda dengan sekarang terutama dalam hal motivasi belajar. Dulu anak-anak dengan fasilitas belajar yang sangat terbatas, punya motivasi kuat untuk sekolah, anak-anak umumnya sangat santun dan hormat tetapi sekarang bisa dinilai sendiri. Ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidkan kita saat ini yaitu soal karakter dan nilai-nilai kehidupan soal kerja keras, kejujuran, kesetiaan, tanggungjawab, penghargaan kepada yang lebih tua dan nilai lainnya,” ungkap Paulus yang sampai saat ini masih hafal betul dengan nama anak-anak muridnya  satu per satu.

Lanjut dia, seiring perkembangan, sekolah Katolik yang berada di Jalan Merdeka, kemudian pindah ke Komplek misi saat ini ketika Yayasan Pendidan Kristen (YPK) memberikan Gedung SMP Misi sekarang yang sempat jadi SMU I Manokwari pertama ke SMP Katolik dan sekolah di Borasi dipindahkan ke komplek misi sampai saat ini.

Kisah, Pauluas, saat itu umumnya murid-muridnya berasal dari pedalaman seperti Kebar, Senopi, Bintuni, Saukorem, Ransiki yang umumnya berasal dari keluarga ekonomi lemah. “Saya tahu betul karena meski anak-anak itu dari pedalaman dan ekonomi keluarga yang terbatas tetapi kemauan dan motivasi belajar mereka sangat tinggi. Bahkan ada yang harus jalan kaki dari Saukorem, Kebar, Senopi ke Manokwari hanya untuk sekolah,” ungkap Paulus.

Berhadapan dengan murid yang umumnya berasdal dari pedalaman, kata Paulus, saat itu dibutuhkan kesabaran, kerendahaan hati serta mental baja untuk menghadapi para murid. “Semua tahu, pendidikan di Manokwari tahun 1972 seperti apa. Dengan situasi seperti itu, kami para guru tidak pernah menyerah. Bagi saya dan teman-teman guru saat itu, menjadi guru adalah panggilan hati sehingga kami termotivasi memberikan pelayaan terbaik lewat pendidkan kepada anak-anak yang masih serba terbatas. Kami hanya ingin agar anak-anak Papua harus sejajar dengan anak-anak di daerah lain,” ucap Paulus yang menikah dengan  Ibu Yos tahun 1975, yang juga berprofesi sebagai guru dan dipercayakan Bapak  Arnold Nesen sebagai Kepala SKKP Misi Manokwari  saat itu yang juga telah malang-melintang mengajar di Fakfak, Bintuni, Merdey, Senopi, Ayawasi, Kebar, Kokonauw, Saukorem dan tempat lainnya.

Ketiak ditanya soal upaya membangun dunia pendidikan saat ini, Paulus enggan menanggapinya. “Itu orang-orang pintar punya urusan untuk cari tahu bagaimana strategi dan model pendidikan di Papua. Tapi  bagi saya, kuncinya hanya satu yaitu mencintai pekerjaan dan jiwa pengabdian dari para guru itu yang jadi utama. Para guru harus menyadari bahwa menjadi guru itu adalah panggilan dan pelayanan sehingga guru harus menjadi pendidik, pengajar, orangtua dan sekaligus teman serta sahabat bagi para murid,” tandas Paulus.  (Agus Jules)

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

nine − 4 =

- Advertisment -spot_img

Berita Terakhir